Perkembangan TV
berlangganan di Indonesia menjadi kanker pada masyarakat. Mengikuti TV
berlangganan seolah-olah menjadi sebuah kebutuhan agar tak ketinggalan jaman
dan rela merogoh kocek besar untuk hal tersebut. Sering saya jumpai bahwa
mayoritas masyarakat telah menggunakan TV berlangganan, bahkan, tak jarang yang
juga menggunakan versi bajakannya, yang pastinya jauh lebih murah.
Kehidupan
saat ini tak lepas dari sentuhan teknologi, terlebih lagi diiringi hadirnya
internet sebagai pelengkap. Kita dapat dengan mudah menemukan informasi baru
dari mana saja dan kapan saja. Hal tersebut sangat membantu pekerjaan ataupun
dalam dunia pendidikan, namun di sisi lain, terdapat dampak negatif yang sangat
merugikan bagi kalangan tertentu. Salah satu dampak buruk di era digital saat ini, yaitu musik. Perkembangan
musik di era digital sangatlah pesat,
karena, kemudahan dalam mengakses serta memasarkannya. Tak perlu biaya mahal
dalam pemasaran serta memiliki jangkauan yang luas untuk memerlihatkan suatu
karya. Tetapi, kemudahan yang didapat justru membuat bencana bagi musisi itu
sendiri, yakni adanya pembajakan.
Teknologi merupakan salah satu pengaruh besarnya kemungkinan
akan pembajakan dalam industri kreatif. Masyarakat dipermudah dalam mengakses
apa saja sehingga terbentuklah kebiasaan untuk mengunduh tanpa mengetahui
sistem legalnya. Hal tersebut juga biasa dalam dunia musik di Indonesia. Dengan
adanya pembajakan, musisi harus kritis dalam menangani hal tersebut secara
bijak dan kreatif.
Jam tangan adalah salah satu bagian terpenting dalam
menonjolkan fashion serta menjadi
kebutuhan seseorang akan waktu. Tidak dipungkiri lagi, bahwa jam tangan makin
hari makin ditinggalkan oleh kawula muda karena adanya teknologi. Sehingga,
munculah pemikiran jam tangan hanya sebagai
penunjang fashion dibandingkan nilai
kebutuhannya.
Hampir tiga tahun terakhir, Intagrammer di Indonesia khususnya remaja memerhatikan feeds Instagram. Dimulai dengan foto
yang dihiasi dengan bingkai di pinggir, satu gambar dipecah menjadi 3-9 bagian,
upload foto satu per satu dengan selang-seling foto polos, memiliki tone yang
sama, dan sebagainya. Mereka melakukannya karena mereka memiliki selera
masing-masing dalam Instagram. Bahkan, terdapat beberapa yang tidak peduli sama
sekali dengan feeds mereka.
Anak-anak kelas V menulis dengan kepala hampir menyentuh meja. Ibu Guru
Tati menawarkan tiga judul yang ditulisnya di papan putih. Judul pertama
“Keluarga Kami yang Berbahagia”. Judul kedua “Liburan ke Rumah Nenek”. Judul
ketiga “Ibu”.
Halo! Nama saya Luthfia Khusuma Laurenza. Ini adalah blog ketiga saya. Saya berharap, blog saya yang ketiga (mudah-mudahan terakhir) ini, isinya lebih menarik dan lebih bagus dari dua blog sebelumnya. Klik yuk, biar lebih tau tentang nama 'Laurenza'ku.