Berbisnis Musik Ilegal
7:38 PM
Kehidupan
saat ini tak lepas dari sentuhan teknologi, terlebih lagi diiringi hadirnya
internet sebagai pelengkap. Kita dapat dengan mudah menemukan informasi baru
dari mana saja dan kapan saja. Hal tersebut sangat membantu pekerjaan ataupun
dalam dunia pendidikan, namun di sisi lain, terdapat dampak negatif yang sangat
merugikan bagi kalangan tertentu. Salah satu dampak buruk di era digital saat ini, yaitu musik. Perkembangan
musik di era digital sangatlah pesat,
karena, kemudahan dalam mengakses serta memasarkannya. Tak perlu biaya mahal
dalam pemasaran serta memiliki jangkauan yang luas untuk memerlihatkan suatu
karya. Tetapi, kemudahan yang didapat justru membuat bencana bagi musisi itu
sendiri, yakni adanya pembajakan.
Hingga saat ini, pembajakan suatu
hak cipta di Indonesia masih kerap terjadi, dalam buku hingga e-book, musik, film dan sebagainya. Pembajakan
tak dapat dihindari, karena, banyaknya pembajak tersebar serta terus melakukan supply kepada pembajak yang lain. Tujuan
mereka adalah dengan modal sedikit namun mendapatkan keuntungan membukit. Banyaknya
pembajak menandakan bahwa masyarakat di Indonesia masih banyak yang belum dapat
memahami nilai suatu karya. Ditambah lagi, saat ini, terdapat toko yang menjual
kaset bajakan di mall-mall Indonesia.
Salah satu contohnya di Malang Town Square yang memiliki toko berisikan kaset
bajakan. Pada jaman Gita Wirjawan sebagai menteri perdagangan, ia mengatakan
bahwa potensi kerugian industri musik Indonesia akibat pembajakan mencapai Rp
4,5 triliun per-tahun. Dengan legalnya menjual-belikan barang bajakan adalah
pertanda kanker moral pada masyarakat saat ini.
Rusaknya moralitas bangsa adalah
salah satu kerugian negara akibat pembajakan. Selain itu, hilangnya pendapatan
pajak serta kepercayaan internasional. Kerugian yang jelas ada pada masyarakat
usaha atau pencipta yang mengakibatkan turunnya nilai penjualan, kerugian
finansial serta hilangnya insentif untuk melakukan inovasi. Lalu, kerugian pada
penikmat musik bajakan adalah mereka harus membayar barang bajakan dengan
kualitas rendah dan menurunkan kembali rusaknya moral kepada generasi mendatang.
Dari data awal 2004 oleh Perusahaan Konsultan Lintelejen Pasar Global dengan
700 analisis di 50 negara, tingkat pembajakan hak cipta di Indonesia sampai 89%
yakni urutan ke-tiga terbesar di dunia setelah Vietnam (95%) dan Cina (92%). Salah
satu pembajakan yang besar adalah pembajakan musik. Kerugian-kerugian akibat
pembajakan sangat jelas terlihat, namun sulit untuk dihilangkan karena penikmat
musik bajakan masih saja meneruskan kebiasaan yang telah membudaya sejak dulu.
Pembajakan hak cipta merupakan
ancaman terhadap eksistensi karya cipta oleh penghasil Hak Kekayaan Intelektual
(HKI). Padahal, HKI berperan penting dalam kehidupan di era digital saat ini dan berkaitan erat
dengan salah satu aspek, yakni ekonomi. Musik dapat dikatakan sebagai wadah
pendapatan, yang didapat oleh musisi bahkan negara. Maka dari itu, banyak label
yang siap menaungi musisi dengan tujuan membantu musisi itu sendiri dan
mendapatkan keuntungan. Namun, apa yang terjadi di dunia industri musik di
Indonesia saat ini, musisi hanya mendapatkan sedikit bagian keuntungan dari
musik mereka, yang mendapat keuntungan lebih adalah label.
Musisi sejak dulu telah menanamkan
anti-pembajakan kepada para penikmat musik dengan cara menyuarakannya langsung
atau melalui media seperti televisi, radio, dan media lainnya. Saat ini, mereka
cukup menggunakan sosial media sebagai salah satu wadah mudah untuk
menyuarakan anti-pembajakan. Serta, adanya iTunes,
Google Play, Deezer, Joox dan platform musik legal lainnya sangat membantu
musisi untuk nilai karya mereka. Beberapa musisi juga ada yang melegalkan musik
mereka dengan gratis di website resmi
mereka guna melawan para pembajak. Namun, musisi tetap mendapat keuntungan dari
sponsor yang menaruh web-banner pada website tersebut. Banyak pemberitaan mengenai musisi di indonesia melakukan gerakan untuk merjuangkan industri musik di Indonesia dari pembajakan. Seperti Rhoma Irama, Tompi, Anang dan musisi lainnya yang terikat dengan Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (ASIRI) dan Persatuan Artis Penyanyi, Pencipta Lagu, dan Penata Rekaman Indonesia (PAPPRI). Gerakan anti-pembajakan
tak hanya dari musisi tetapi juga datang dari pihak lain. Salah satunya yaitu
festival musik Gen Fest 2012 dengan tema anti-pembajakan yang digelar di Plaza
Barat Stadion Gelora Bung Karno. Gen Fest mengambil tema tersebut untuk
mendukung kemajuan musik Indonesia. Para musisi menyuarakan langsung anti-pembajakan
di sela panampilan. Selain dengan cara menyuarakan slogan, Gen Fest juga
menyediakan booth yang menjual CD original serta produk-produk asli
para musisi.
Walaupun gerakan anti-pembajakan
sering dilakukan, pembajak akan terus melakukannya karena musik yang mereka
bajak adalah sumber kehidupannya. Pembajak satu akan menggandeng orang baru
untuk menjadi partner dalam
penjualan. Lalu, apabila sudah besar, bisa saja ia akan menjadi supplier dalam membajak. Komunikasi yang
dilakukan pembajak sangatlah baik sehingga kegiatan membajak menjadi
turun-temurun hingga saat ini. Modal komunikasi mereka mengarah pada materi,
bahwa uang atau keuntungan yang didapat tak ada hentinya. Sehingga, orang awam
akan memahaminya sebagai kegiatan yang lumrah karena semua itu kembali pada
bisnis tanpa memerdulikan hak cipta pekarya. Mereka mengerti bahwa kegiatan
yang mereka lakukan adalah ilegal, namun, mereka tidak peduli. Yang mereka tahu
apa yang harus dilakukan adalah menjual musik baru dan trending kepada masyarakat, apabila ada razia, mereka harus bisa
lolos bagaimanapun caranya. Lalu, cara mudah yang dapat
dilakukan untuk meminimalisir pembajakan musik adalah dengan membeli yang asli.
Kesadaran masyarakat sangat dibutuhkan dalam hal ini. Menghargai nilai suatu
karya sesungguhnya sangatlah mudah, masyarakatnya saja yang mempersulit
prosesnya. Mulai dari harganya mahal, susah mendapatkannya dan berbagai keluhan
lainnya.
Anti-pembajakan juga tak hanya dari masyarakat dan
musisi. Pemerintah harus turut andil dalam hal ini. Kurangnya ketegasan dalam hukum
pembajakan adalah salah satu faktor masih maraknya pembajakan hingga legal beredar
dalam mall. Karena, kembali lagi
kepada kerugian yang didapat dari pembajakan, yaitu, kerugian finansial tak
hanya dialami oleh musisi dan penikmat lagu, tetapi pemerintah juga akan
mengalami. Lebih buruk lagi apabila sampai pada tahap ancaman terhadap
perdagangan internasional karena takut akan besarnya nilai pembajakan di
Indonesia. Pajak yang didapat pemerintah dari musik juga besar, tak dapat
dipungkiri bahwa musik sebagai ladang materi bagi negara mengingat bahwa musik
tak lepas dari keseharian masyarakat. Bisnis dalam industri musik adalah hal
biasa. Namun, terkadang disalahgunakan seperti label musik yang telah kita
bahas sebelumnya. Tak heran apabila musik dengan jalur indie makin menjamur. Selain bebas berkarya, musisi mendapat
apresiasi lebih ketika lepas dari embel-embel
label.
Musik adalah sumber bisnis bagi musisi.
Selain mendapat keuntungan dari karya yang dihasilkan, musisi mendapat reputasi
atau apresiasi dari karya tersebut. Musik juga sumber bisnis bagi para
pembajak. Namun, bukan karena ingin mengenalkan karya original sendiri, tetapi, mereka memanfaatkan musik sebagai wadah
atau siasat penjualan agar bisnis mereka lancar dan memperoleh banyak
keuntungan dengan cara ilegal. Ketika apa yang dijual pembajak berhasil dan
sesuai dengan target yang diinginkan, maka ia akan lebih giat dalam membajak
dan menyebarkan jangkauan penjualan. Tak ragu juga, sebagian dari pembajak
berani membanting harga agar tak kalah dengan pembajak lainnya. Pembajakan musik
tak hanya dalam rilisan fisik namun juga dalam bentuk digital. Pembajak dalam bentuk digital
memperoleh keuntungan dengan cara yang sama oleh musisi yang menggratiskan
karyanya di website, yaitu sponsor. Namun,
sponsor yang menaungi website nakal
tersebut yang pasti bukan sponsor perusahaan ternama, melainkan sponsor game dan apapun itu yang berkaitan
dengan bisnis dalam dunia maya. Itulah sulitnya berkarya di era digital. Akses yang begitu mudah menjadi
blunder terhadap pekarya itu sendiri yang membuat mereka untuk lebih bijak dan kreatif
dalam menangani pembajakan.
Buku
referensi:
-
Pragiwaksono,
Pandji. 2015. Indiepreneur. Jakarta.
Bentang Pustaka.
-
M. Hutauruk.
1982. Peraturan Hak Cipta Nasional.
Jakarta. Erlangga.
Jurnal
referensi:
-
Manurung, Evelyn
Angelita P. (2014). “Jurnal Perlindungan Hukum terhadap Hak Cipta atas Karya
Cipta Digital di Indonesia”.
-
Riswandi, Budi
Agus. (2009). “Permasalahan Pelanggaran dan Langkah Hukum Hak Cipta atas Musik
dan Lagu yang Dituangkan dalam Bentuk VCD dan DVD”. Jurnal Hukum 16 (4), 569 –
592.
Berita
referensi:
-
Kompasiana: “Musik
dan Pembajakan”. 17 Juni 2015.
-
VOA Indonesia: “Nasib
Lokananta dan Kampanye A nti-Pembajakan
Karya Seni”. 16 Oktober 2015.
-
Republika: “Gen
Fest 2012 Kampanye Anti-Pembajakan”. 13 Oktober 2012.
Inter-Relasi:
A:
MUSIK
B:
PEMBAJAKAN
C:
KOMUNIKASI BISNIS
D:
FINANSIAL
Pokok
Pikiran di Paragraf:
1: Musik di era digital
2:
Tujuan pembajak
3:
Kalangan yang dirugikan
4:
Musik sumber materi
5:
Perlawanan musisi
6:
Hubungan pembajak dengan bisnis
7:
Musik dan komunikasi bisnis
8:
Musik sebagai siasat penjualan ilegal


0 comments