Aksi Damai Intoleran

5:50 PM

Inter-relasi:
A: TOLERANSI
B: STEREOTIP
C: PROVOKASI
D: MUSLIM


Pokok Pikiran di Paragraf:
1: Toleransi di Indonesia saat ini
2: Stereotip yang masih melekat
3: Toleransi dalam netizen Indonesia
4: Munculnya provokator
5: Provokasi di mana-mana
6: Aksi dari provokasi
7: Penistaan oleh muslim

                Toleransi di Indonesia saat ini sedang terombang-ambing, bagi saya. Ketika di sisi lain  sangatlah kuat sikap toleransinya, sisi sebaliknya masih sulit melakukannya. Terbukti dengan masih adanya konflik daerah di Indonesia dengan faktor ras, suku maupun agama. Toleransi tumbuh bukan dengan pelajaran di sekolah ataupun paksaan, melainkan dengan diri sendiri sebagai dasar yang didukung oleh lingkungan untuk terus dipelajari dan dilakukan. Namun, tak dapat disangkal apabila ada lingkungan sekitar yang tak peduli dengan hal ini. Mereka itulah bibit penyakit intoleran di Indonesia.
                Berawal dari pandangan yang terlihat sepele, stereotip. Salah satu contohnya seperti, apabila ada seseorang berkulit putih dengan mata sipit, maka orang tersebut dicap sebagai orang cina. Padahal, orang yang nge-cap belum mengetahui bagaimana latar belakang orang tersebut. Lalu, ia diperlakukan sedikit berbeda dengan pribumi. Bisa saja, ia hanya keturunan cina tetapi kebangsaannya Indonesia. Tentu berbeda antara ‘orang cina’ dengan ‘keturunan cina’ dan hal ini terlihat wajar di Indonesia. Masih banyak contoh lainnya mengenai stereotip yang turun-temurun hingga saat ini. Mungkin terlihat sepele, tetapi, stereotip adalah salah satu faktor utama yang dapat menimbulkan ika Indonesia tidaklah bhineka.
                Tak hanya di dunia nyata, netizen (pengguna internet) Indonesia kerap terlihat menunjukkan sikap intoleran melalui kiriman-kirimannya. Dengan internet, siapa saja dapat mengunggah apapun tanpa perlu aktual. Sehingga, netizen yang tidak cermat memilih berita akan salah paham dan menyebarkan kembali berita yang salah. Banyaknya sumber yang dilihat netizen membuat mereka dapat percaya diri untuk meluapkan pendapatnya melalui sosial media. Kiriman merekalah yang menjadi faktor intoleran dapat terjadi juga di dunia maya. Perbedaan pendapat sangatlah wajar, yang tak wajar adalah cara masing-masing netizen dalam menanggapi perbedaan tersebut. Ada yang menanggapinya dengan debat keras, mencemooh, menyindir, dan sebagainya. Ketika keributan itu terjadi di sosial media, maka sangat cepat menyebar dan mengakibatkan tak hanya satu lawan satu, bahkan dapat mencapai ribuan netizen yang menyerang satu sama lain hanya karena perbedaan pendapat. Seharusnya, dengan perbedaan pendapat, dapat membuat netizen sama-sama mencari tahu kebenarannya dan diulas bersama, yang benar diambil dan yang salah dicari solusinya.
                Perbedaan pendapat yang pelik bagaikan sumber energi. Dapat dijadikan bahan bagi provokator. Tujuan provokator tentu ingin menyampaikan kepada publik bahwa pendapatnya benar. Namun, cara menyampaikannya yang kurang tepat. Terkadang, demi mendapat pengikut yang besar, provokator menyelipkan isi berita yang salah. Sehingga, jika apa yang disampaikan ditelan mentah-mentah tanpa disaring, hal yang salah menjadi benar dan hal yang benar memanglah benar. Mengerikan adalah ketika provokator sudah sangat kuat, ia mampu menggerakkan massanya untuk berbuat sesuai kemauannya. Ya, hal tersebut masih sering terjadi di Indonesia.
                Provokasi yang tumbuh di masyarakat Indonesia tak henti-hentinya. Entah di dunia maya maupun di dunia nyata yang berujung sama, yaitu, menimbulkan keributan antar dua kubu. Kubu yang setuju dengan yang tidak. Perseteruan yang kerap terjadi akibat provokasi tak hanya di bibir, tetapi juga mereka lakukan dengan aksi. Namun, yang sangat disayangkan adalah banyaknya aksi dari provokasi yang radikal. Sehingga, masih banyak pula masyarakat yang sulit untuk berpikir terbuka dan jernih dalam menanggapi provokasi yang diterima.
                Salah satu contoh dari aksi yang berasal dari provokator radikal adalah kejadian ketika para muslim berkumpul untuk aksi damai 411 dan 212. Ketika berita aksi tersebut masih hangat, banyak terjadi perpecahan hanya karena perbedaan pendapat. Tak ada yang salah dengan aksi tersebut, namun, ketika Ahok telah diberi hukuman, masih saja ada muslim yang kurang puas dengan hukumannya dan masih berkoar hebat di sosial media untuk memprovokasi kembali netizen Indonesia. Bahkan, sampai saat ini pun, masih banyak yang memperdebatkan hal tersebut. Jika dipikirkan kembali, Ahok sudah jelas diberi hukuman. Namun, jika bagi sebagian muslim hukuman yang diterima masih kurang, apakah mereka tidak intropeksi diri tentang perilakunya terhadap agamanya sendiri? Jangankan dijawab, terbesit memikirkan hal itu saja mungkin tidak bagi mereka.

                Banyak muslim yang tidak menyadari bahwa bisa jadi ia termasuk salah satu yang menistakan agamanya sendiri. Jangan hanya fokus terhadap Ahok, jangan hanya fokus dengan persatuan muslim menegakkan agama Islam karena dinistakan Ahok, jangan hanya fokus dengan mengumpulkan massa untuk melawan Ahok dan jangan hanya fokus dengan aksi damai tanpa memandang kepentingan masyarakat umum di sekitar lokasi. Aksi tersebut dapat dikatakan intoleran, tidak nampak, karena ada kata ‘damai’ dalam aksinya. Fokus yang mereka lakukan tidak memikirkan orang lain. Jangankan orang lain, memikirkan diri sendiri saja belum tentu. Jadi, janganlah bertindak intoleran hanya karena ingin ikut-ikutan agar terlihat membela mati agama, introspeksi diri terlebih dahulu sebelum mengatakan orang lain menistakan agama dengan mudah. Introspeksi diri yang dimaksud yaitu muslim yang jelas diwajibkan untuk menutup aurat, namun masih banyak yang cuek bahkan ada yang berprofesi sebagai kupu-kupu malam. Kitab suci Al-Quran yang disimpan tak pernah dibaca hingga berdebu, namun koleksi barang autentik dipajang dan rajin dibersihkan. Dua hal tersebut masih contoh yang sering dijumpai dan dapat dikatakan sebagai penistaan, mari beralih ke contoh yang lain. Ada sebuah dome milik salah satu universitas Islam yang saya kenal memberi sebuah lambang di tengah atap bagian dalam yang ada tulisan dua kalimat syahadat dalam bahasa Arab. Tujuannya baik, saya mengerti. Namun, ketika banyaknya event dengan tawaran dana menggiurkan, dapat melemahkan fungsi lambang krusial tersebut. Apabila event yang diadakan layaknya pesta, berakhir larut malam, banyaknya orang menari-nari, bercampur-aduk dengan lawan jenis dan semua hal tersebut dilakukan dibawah tulisan dua kalimat syahadat, apakah bukan termasuk salah satu menistakan agama? Sebenarnya yang lebih menistakan agama itu siapa? Ahok dengan satu ayat yang di mana ia non-muslim dan wajar saja apabila ia tidak paham sehingga salah atau muslim yang memberikan ijin kepada event-organizer untuk melakukan acara yang bersifat sia-sia di bawah tulisan dua kalimat syahadat? Anda yang menentukan.

You Might Also Like

0 comments

Halo Pengunjung ke-